Sirah Sahabiyah: 'Aisyah ra.



Identitas Aisyah ra.
Suaminya adalah manusia paling agung sepanjang zaman, Muhammad bin Abdullah yg telah diutus oleh Allah sebagai refleksi kasih sayang bagi seluruh alam raya. Ayahnya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq ra., manusia yang paling utama setelah para nabi dan rasul. Dia adalah orang kedua dari dua orang yang berada di gua dan orang yang paling dicintai oleh Rasulullah saw.


Ibunya adalah seorang sahabat wanita terkemuka, yakni Ummu Ruman binti ‘Amir. Dia adalah sosok sahabat wanita terkemuka yg sangat banyak menorehkan jasanya kpd Islam.



Saudara perempuan kandungnya adalah Asma’ binti Abu Bakar yg terkenal dengan gelar Dzaatun Nithaaqain (pemilik dua selendang). Saudara kandung lelakinya adalah Abdurrahman bin Abu Bakar. Dia adalah seorang lelaki pemberani dan ahli memanah yg tersohor. Kakeknya dari pihak ayah adalah Abu Quhafah yg turut masuk Islam dan menjadi sahabat Rasulullah saw. Neneknya dari pihak ayah adalah Ummul Khair Salma binti Shakhr yg turut masuk Islam dan menjadi sahabat wanita Rasulullah saw. Itulah silsilah keluarga yang penuh berkah. “Aisyah keluar dari akarnya dan hidup di antara dahan-dahannya, sehingga tumbuh mekar dan menjadi bunga yg sangat indah di tengah-tengah manusia.



💕Kisah Pernikahan yang Penuh Berkah



Pernikahan Rasulullah saw. dengan ‘Aisyah (selain karena petunjuk wahyu) lebih didorong oleh rasa cinta, kasih sayang dan kerinduan, serta salah satu sifat hikmah yang dimiliki oleh beliau yang penuh dengan rahmah (belas kasih)

.

Imam Adz Dzahabi berkata,” Rasulullah saw. menikah dengan ‘Aisyah setelah Khadijah ra. wafat. Beliau menikah dengan ‘Aisyah dan Saudah dalam waktu yang bersamaan, namun serumah dengan Saudah lebih dulu selama tiga tahun, kemudian baru serumah dengan ‘Aisyah pada bulan Syawwal setelah peristiwa Perang Badar. Rasulullah saw. tidak pernah menikah dengan seorang gadis perawan selain ‘Aisyah ra.


🌻Peristiwa Haditsul Ifki (Bohong)


Mari kita simak kisah peristiwa ifki ini secara lengkap, agar kita dapat melihat kedudukan ibunda kita ‘Aisyah ra., dalam pandangan Allah ‘Azza Wa Jalla yang telah mengumumkan kesuciannya dari atas tujuh lapis langit.

.

“Aisyah ra menuturkan, ”Jika Rasulullah saw. hendak melakukan perjalanan, maka beliau akan mengundi siapa di antara istri-istri beliau yang akan mendampinginya. Waktu itu, ketika hendak melakukan serangan terhadap musuhnya, Rasulullah saw. mengundi, dan keluarlah namaku, sehingga aku menyertai perjalanan beliau dalam perang itu yang terjadi setelah turunnya ayat hijab, sehingga aku dibawa di dalam haudaj (semacam tenda kecil yang diletakkan di atas punggung unta dan diperuntukkan bagi kaum wanita) dan beristirahat di dalamnya.”
.
Kami pun berangkat menuju tempat yang telah ditentukan dan setelah menyelesaikan misinya, Rasulullah saw. segera kembali. Ketika sudah dekat dengan Madinah, tiba-tiba Rasulullah saw. memberi perintah untuk meneruskan perjalanan di malam hari. Sesaat sebelum perintah Rasulullah saw. diumumkan, aku meninggalkan perkemahan tentara untuk suatu keperluan. Setelah selesai, aku segera kembali menuju kemah. Malangnya, aku kehilangan kalung karena patah saat aku berjalan tergesa-gesa. Oleh sebab itu, aku kembali lagi untuk mencari kalungku itu, sehingga membuatku terlambat.
.
Beberapa orang yang bertugas mengangkathaudaj-ku datang dan langsung mengangkatnya ke punggung untaku. Mereka mengira aku berada di dalamnya. Masalahnya, pada saat itu, wanita sepertiku pada umumnya bertubuh ringan dan kurus, karena belum banyak makan. Itulah yang membuat, mereka tidak curiga ketika haudaj-ku terasa ringan, apalagi saat itu aku masih terbilang kecil. Mereka menggiring unta dan membawanya pergi.
.
Akhirnya, aku berhasil menemukan kalungku kembali, namun rombongan pasukan yang membawaku telah pergi jauh, sehingga ketika aku sampai di tempat perkemahan mereka, aku tidak menemukan siapa pun. Aku langsung menuju bekas kemahku dengan harapan mereka akan mencariku dan menemukanku kembali di tempat semula. Ketika aku sedang duduk di bekas kemahku , aku mengantuk lalu tertidur dengan lelap


Kebetulan, Shafwan bin Mu’aththal As Sullami berjalan di belakang rombongan induk, sehingga ia kemalaman dan baru pagi itu ia sampai di tempatku. Dari kejauhan, dia melihat titik hitam seperti orang yang sedang tidur, sehingga ia terpancing untuk mendatanginya. Ternyata ia melihatku dan langsung mengenaliku, karena dia pernah mengenaliku sebelum ayat hijab turun. Aku terbangun karena mendengar Shafwan mengucapkan istirja’ (innaa lilahi wa innaa ilaihi raaji’uun) ketika mengenaliku. Saat itu juga aku langsung menutup wajahku. Demi Allah, dia sama sekali tidak mengajak bicara denganku dan aku tidak mendengarnya mengucapkan satu kalimat pun selain istirja’ tadi.


Shafwan mendudukan untanya dan menekan dua kaki depannya agar aku dapat naik ke punggung unta itu dengan mudah. Setelah siap, dia menuntun unta tersebut hingga dapat menyusul rombongan pada siang hari itu juga. Saat itu Shafwan bin Mu’aththal malapetaka bermula, dan orang yang paling bertanggungjawab menyebarkan tuduhan bohong (ifki) itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.”

‘Aisyah mendengar pertama kali perihal tuduhan ifki itu saat tiba di Madinah dari perang bani Musthaliq yang dituntaskan dengan meraih kemenangan gemilang. Tuduhan ifki yang intinya menyatakan bahwa ‘Aisyah ra. telah berselingkuh dengan Shafwan bin Mu’aththal As Sullami itu disebarkan oleh kaum munafik dan orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya. Mereka tidak segan-segan untuk melontarkan tuduhan keji itu dengan lidah-lidah mereka, padahal mereka tahu bahwa sebenarnya mereka telah berdusta dan mengada-ada.


Allah swt. berfirman,
“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyebaran berita bohong itu maka ia mendapat azab yang besar.” (QS. An Nur: 11)


Sejak mendengar tuduhan ifki yang disebarkan oleh orang-orang munafik dan simpatisannya itu, ‘Aisyah dan kedua orangtuanya terpuruk di bawah hantaman badai ujian yang sangat menyakitkan. Kesedihan mereka tidak lebih kecil dari kesedihan Rasulullah saw. Mereka benar-benar memasrahkan segala-galanya kepada keputusan Allah yang Mahakuasa dan Maha Terpuji, Zat yang memiliki seluruh isi langit dan bumi. Mereka menunggu ketetapan Allah yang akan menghapus duka yang meliputi mereka dari segala arah.


Ujian dan cobaan ini semakin sempurna ketika Allah swt. tidak menurunkan wahyu yang menyelesaikan persoalan itu selama satu bulan, hingga akhirnya ketika Rasulullah saw. muncul menemui ‘Aisyah karena sudah satu hari dua malam ‘Aisyah tidak berhenti menangis dan tidak bisa tidur, Rasulullah saw. menerima wahyu. Dalam wahyu itu, Allah menurunkan firman-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu...” (QS. An Nur:11) Hingga lengkap 10 ayat.


Ketika ‘Aisyah ra. tidak mampu membela dirinya sendiri, maka Allah yang tampil membelanya. Seperti inilah kesucian ‘Aisyah ra. yang diumumkan dari tujuh lapis langit.



Keistimewaan Aisyah ra.

Abdurrahman bin Adh Dhahhak menyatakan bahwa Abdullah bin Shafwan pernah menemui ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata,” Aku punya 9 kelebihan yang tidak dimiliki oleh siapa pun, kecuali kelebihan-kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada Maryam. Demi Allah, dengan mengatakan hal ini, aku tidak bermaksud melebihkan diriku atas teman-temanku (istri-istri nabi saw. Lainnya).”



Ibnu Shafwan bertanya,”Apa kelebihan-kelebihan itu?” ‘Aisyah ra. Berkata,” Jibril membawa gambarku kepada Rasulullah saw. (dalam mimpi), lalu beliau menikahiku; Rasulullah saw. menikah denganku saat aku perawan; beliau menerima wahyu ketika sedang berada dalam satu selimut denganku; aku adalah orang yang paling dicintai oleh beliau; Allah menurunkan beberapa ayat Al Qur’an karena aku di saat umat hampir celaka karenanya; aku pernah melihat Jibril dan tidak ada seorang pun di antara istri-istri beliau lainnya yang pernah melihatnya; Rasulullah saw. meninggal di rumahku di saat tidak ada orang mengurusnya, selain malaikat, kecuali aku.” (HR. Hakim)



Keistimewaan ‘Aisyah ra. lainnya adalah seperti yang dituturkan oleh Abu Umar bin Abdul Barr, “Pada massanya, nyaris tidak ada yang menandingi ‘Aisyah dalam tiga bidang keilmuan: ilmu fiqih, kedokteran, dan puisi.”

‘Aisyah ra. memiliki kefasihan berbicara dan kemampuan sastra yang sangat baik sekali. Ia tumbuh di lingkungan keluarga Abu Bakar yang sangat lihai dalam bidang sastra. Setelah besar, ‘Aisyah ra. pindah dari rumah ayahnya dan berada di bawah bimbingan Rasulullah saw. sehingga ia banyak belajar dari kekuatan sastra beliau, mempelajari gaya bahasa Al Qur’an dan menggalinya dengan baik sekali.


Wafatnya Aisyah ra.

Pada bulan Ramadhan, tahun 58 Hijriah, Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. sakit keras. Sebelum meninggal, ia berwasiat agar dikuburkan di pemakaman Baqi’ bersama rekan-rekannya sesama istri Nabi saw. dan keluarga beliau.

Tepat pada tanggal 17 Ramadhan, Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. mengembuskan napas terakhir dan kembali keharibaan Tuhannya dengan penuh keridhaan dan diridhai.

Jasad ‘Aisyah dimakamkan malam itu juga, tepat setelah shalat witir. Sebelum itu, Abu Hurairah ra. mengimami shalat jenazah. Banyak sekali kaum muslimin yang hadir dalam shalat tersebut, bahkan penduduk daerah ‘Awali pun hadir ikut mengantar jasad suci itu menuju persemayaman terakhirnya. Sehingga masyarakat Madinah tidak pernah menyaksikan malam yang lebih ramai dari malam tersebut.

Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat persinggahannnya.



Referensi

Buku 35 Sirah Shahabiyah yang ditulis oleh Mahmud Al Mishri terbitan Al I’tishom

0 Comments