Waktu Pelaksanaan
Tanggal : Jumat, 12 April 2019
Narasumber : Agin Poespa
Cuplikan Materi Pengantar
Benarkah menulis dapat membantu seseorang dalam penyembuhan jiwa?
YAP! Benar!
Menulis dapat dijadikan terapi jiwa. Tentu jika tujuannya untuk penyembuhan jiwa, bukan menulis untuk laporan penelitian atau menulis fiksi/non fiksi untuk publikasi yang dimaksud.
Metode menulis ini bernama Expressive writing, yaitu sebuah aktivitas menulis untuk mengekspresikan bagian terburuk atau tersulit dalam hidup
Apa saja manfaat kesehatan dari Expressive writing?
- Tingkat stress berkurang
- Meningkatkan fungsi paru-paru
- Meningkatkan fungsi hati
- Meningkatkan suasana hati atau mood
- Merasa lebih sehat secara psikologis
- Mengurangi rasa Traumatis
- Meningkatkan fungsi Imun tubuh
Metode Expressive writing ala Pennebarker:
1. Tentukan waktu dan tempat: penting untuk menukis secara tenang dan kondusi
2. Menulislah selama 20-30 menit. Fokus pada emosi terdalam yang benar-benar ingin kita lepaskan
3. Tidak perlu menghiraukan susunan kalimat. Expressive writing bukan untuk melatih skill menulis
4. Lakukan kegiatan ini selama empat hari berturut-turut. Menurut Pennebarker, tidak ada alasan khusus tentang batasan waktu itu. Namun sejak metode ini dicobakan ke ratusan orang, formula ini memberikan hasil yang baik.
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan 1:
Berkaitan dengan Writing for healing soul...
Saya masih belum bisa mengatasi inner child saya, apakah ini bisa untuk terapi juga? Ada rasa malu ketika harus menuliskan hal-hal yang menjadi beban di hati, terutama berkaitan dengan orang-orang terdekat.
Jawaban :
Wa’alaikumsalam, Kalau berdasarkan yang saya gali tentang Expressive writing, metode ini bisa juga diaplikasikan saat memiliki inner child. Cukup tulis di buku diary saja dan ekspresikan segala bentuk emosi yang dirasakan.
Pertanyaan 2:
Tentang teknik Expressive writing, di situ disebutkan kalau tengah melakukan kita menjadi marah-marah yang luar biasa, lebih baik dihentikan atau berganti topik.
Sementara saya pernah 15 tahun lalu (tanpa saya sadari melakukan semacam teknik ini), saya dalam kondisi down yang teramat dalam, saya memenuhi hari hari saya hampir setiap waktu dengan menulis puisi-puisi, saya tuntaskan secara emosi di saat proses tersebut (pernah sampai mata sangat lelah tangan tak bisa bergerak). Namun setelahnya saya merasa sangat tenang.
Yang mau saya tanyakan, mengapa saat melakukan proses Expressive writing tersebut kita harus menghentikan/ berganti topik saat emosi kemarahan memuncak/ekstrem?
Jawaban :
Hai, terima kasih udah berbagi pengalaman tentang Expressive writing yang pernah dilakukan.. Saya pun termasuk punya pengalaman yang sama, saat emosi memuncak dan terus menulis, setelahnya justru semakin lega. Dulu juga belum ngeuh kalau yang saya lakukan itu namanya Expressive writing.
Kalau sementara ini berdasarkan hasil baca-baca dan sharing dengan teman yang mengalami emosi memuncak saat Expressive writing, ternyata bagi beberapa orang justru jadi lost control saat dia mengingat kembali luka masa lalunya dan efeknya jadi kepikiran lagi atau lebih parahnya depresi sehingga dalam Expressive writing disebutkan warning demikian. Mungkin ini pun berkaitan dengan seberapa dalam/berat trauma yang dialami seseorang.
Sejauh ini saya memahaminya seperti itu Mbak, ada yang punya pengalaman/pendapat lain mungkin? Boleh sharing di sini.
Jika emosi mulai memuncak, topik bisa dialihkan dengan menulis hal-hal yang membuat senang/ bahagia, hobi yang selalu dilakukan dengan mata berbinar, atau mungkin deretan barang yang jadi wishlist dan ingin dimiliki. Intinya yang bikin kita merasa happy saat menulisnya.
Tanggapan Penanya :
Terimakasih. Jadi tetap dibutuhkan pengendalian emosi ya Teh karena puncak emosi orang pastinya berbeda - beda. Dan menurut saya keberhasilan teknik ini pun sepertinya bergantung dari sejauh mana kita ingin berdamai dengan keadaan kita. Karena ketika kita tidak menuntaskan perasaan kita, biasanya karena kita menolak hal tersebut, justru perasaan itu akan menjadi momok dalam fase menulis ini hingga membuat kita tenggelam dalam depresi.
(mohon koreksi jika saya salah)
Tanggapan Narasumber :
Nah, betul banget Mbak ini poin pentingnya sejauh mana kita sudah berdamai dengan diri sendiri.
Tanggapan Peserta :
Mungkin bisa sebagai tambahan saja Teh, ketika menulis hal yang bersifat traumatis atau sesuatu yang berkaitan dengan innerchild sehingga emosi tergugah, maka kita juga menuliskan harapan yang kita inginkan. Sehingga emosi yang keluar tadi, bisa segera terkontrol dengan lebih nyaman.
Mari menulis meski tidak konsisten.
Tanggapan Penanya :
Nah ini tadi Teh Agin Puspa berkaitan dengan pertanyaan saya yang kedua.
Untuk pertanyaan kedua yang saya maksud, bukan topik saat kita sudah merasa emosi memuncak.
Tapi saat kita mengawali melakukan Expressive writing itu lebih baik kita menuliskan apa? Apakah hal - hal yang bernilai positif berkaitan dengan perasaan kita (membangun kekuatan diri) atau justru menuliskan perasaan-perasaan yang kita rasakan saat itu, baru setelahnya kita telaah untuk diambil hikmahnya?
Jawaban :
Kembali lagi Mbak, karena kondisi psikis setiap orang berbeda-beda tentu teknik Expressive writingnya pun saya rasa bisa disesuaikan dengan kenyamanan setiap orang. Bisa saja untuk si A mulai dulu dari hal hal positif yang dirasakannya, atau untuk si B justru langsung menulis hal-hal yang membuat dia trauma. Sepertinya psikolog atau psikiater bisa lebih paham tentang ini ya.
Pertanyaan 3:
1. Apa saja kelebihan dan kelemahan dari menulis untuk healing soul?
2. Siapa saja yang bisa menerapkan metode ini? Apakah harus expert atau semua kalangan dan usia bisa menerapkannya?
3. Jika bisa semua orang menggunakan metode ini, Apakah kita harus suka menulis dulu baru metode ini bisa berhasil?
Yang kedua topik seperti apa yang sebaiknya kita salurkan pada tulisan kita, apakah lebih baik menuliskan hal - hal positif ? Ataukah tuliskan apa saja yang terpikirkan?
Jawaban :
Halo Mbak ... Wih, asyik nih ada yang lagi penelitian tentang Expressive writing, jadi bisa banyak sharing juga.
1. Kalau kelebihannya seperti yang sudah disebutkan dalam materi, ya, mbak.. Yang juga sudah tertera dalam penelitiannya Pennebarker dan Seagel. Kelemahannya, kalau saya rasa metode Expressive writing ini mungkin tidak 100% menghilangkan trauma berat yang dialami seseorang. (Tapi ini baru asumsi saya aja, berdasarkan pengalaman teman yang punya trauma dan mempratekkan Expressive writing, tapi masih merasa belum sepenuhnya pulih dengan hanya Expressive writing saja)
2. Saya rasa semua orang bisa melakukan Expressive writing seperti contohnya saja saat sekolah kita punya diary lucu-lucu yang isinya segala macem curahan hati.
3. Nah, tapi saya pun ada catatan pribadi juga sih... Sepertinya untuk sesorang yang punya PTSD, atau mental illness lainnya butuh bimbingan/arahan dari ahlinya agar metode healing lebih cepat+tepat.
4. Tidak selalu, Mbak. Karena goals dari Expressive writing adalah untuk 'memuntahkan' segala emosi yang ada. Jadi, yang nggak suka nulis pun bisa melakukan Expressive writing.
Pertanyaan 4:
Untuk writing for healing apakah termasuk dalam menuangkan tulisan di sosmed atau blog?
Jawaban :
Kalo yang ditulis di sosmed dan blog itu isinya curahan hati semua bisa jadi termasuk Expressive writing.
Tapi kalau saran saya, sebaiknya jika memang ingin total melakukan Expressive writing, sebaiknya memilih buku diary dan tidak perlu dipublish ke media sosial.
Biarlah medsos jadi sarana pencitraan dan aktualisasi diri (dengan cara yang benar) kita.
Pertanyaan 5:
Bagaimana membuat mood menulis muncul kembali?
Dari saya SD sampai bekerja saya rajin sekali menulis untuk menyembuhkan trauma saya pada banyak hal yang saya alami. Namun setelah memiliki anak saya merasa sulit untuk sekedar menulis sebaris kalimat. Dan merasa kehilangan kata untuk menulis. Tidak seperti dulu.
Bagaimana ya biar PD dengan tulisan sendiri?
Jawaban :
Saya juga termasuk golongan yang moody-an kalo nulis (apalagi buat setoran di KLIP, makanya bulan ini angkat koper dulu).
Kalau kata Bang Tere Liye mah, tulis aja apa yang lagi terlintas di otak kita. Misal nih, lagi nulis artikel/novel di tengah jalan terus bingung mau nulis apa lagi. Lanjut saja nulis dengan kalimat apa pun yang mungkin terlintas di pikiran kita. Saat sudah selesai, baca ulang dan buang kalimat-kalimat nggak jelas yang nggak nyambung dengan topik tulisan kita.
Biar percaya diri sama tulisan kita sendiri harus terus latihan menulis dan berani publish tulisan. Kalau banyak dikritik gimana? Ya, gapapa kalo kritiknya membangun tentu jadi bahan evaluasi kita. Kalau untuk menjatuhkan? Ah, biarin ke laut aja yang begitu mah.
Nah, kalau untuk meningkatkan dan mengasah skill nulis kita bisa pake metode Free Writing-nya Pak Hernowo Hasyim.
Tanggapan Penanya :
Tooss.
Nah ini teh, kadang tiap baca lagi tulisan kok gak nyambung sama judul dan topik yang mau ditulis. Trus ngambek deh gak mau menyelesaikan. Jadi seharusnya memang dibuang saja ya kalimat yang gak nyambung itu.
Sepertinya saya harus memulai berlatih menulis lagi, karena sekarang jarang sekali menulis dengan kalimat panjang dan berhalaman halaman.
Hihihi iya sih, kadang kalau di publish terus ada yang comment menjatuhkan jadi sedih juga kan lagi belajar nulis. Tapi biasanya saya cuek sih, kecuali comment itu terlalu mengganggu privasi..
Wah Terimakasih sarannya teh, semoga bisa ikutan kelasnya juga.
Tanggapan Narasumber :
Ayook mbaak, terus nulis jangan kasih kendor.
Mulai dari yang ringan dulu aja nulisnya, misal ceritain make up yang dipake untuk sehari hari atau apa pun yang dekat dengan kita.
Pertanyaan 6:
Bagaimana supaya tulisan tentang pengalaman buruk kita dapat menjadi inspirasi untuk orang lain tanpa terkesan mengumbar aib diri sendiri/keluarga?
Jawaban :
Tulisan inspirasi dari pengalaman buruk yang kita alami bisa jadi support bagi pembaca yang mungkin mengalami hal yang sama. Nah, poin pentingnya adalah sudahkah kita berdamai dengan pengalaman buruk itu?
Kalau saya pribadi, saat ingin menulis yang sumber inspirasinya dari pengalaman buruk/nggak enak, saya harus memastikan diri saya sudah 'bersahabat' dengan pengalaman tersebut bukan lagi masalah yang saya risaukan misalnya.
Ini gunanya agar saya lebih waras dalam menulis dan bener-bener dapat menyampaikan ibrah/pelajaran yang solutif untuk pembaca saya nantinya.
Pertanyaan 7 :
Bagaimana mengajarkan/mengajak anak usia sekolah dasar yang memiliki trauma (misalnya korban gempa Lombok) untuk menulis yang bertujuan terapi jiwa ini? Terima kasih.
Jawaban :
Pengalaman serupa pernah saya dengar lewat teh Dece saat bertemu dengan kak Lian Gogali yang berhasil menerapkan writing for healing untuk korban Poso.
Nah, metodenya untuk anak-anak ini tidak langsung ujug-ujug menulis. Namun peserta akan diminta untuk menggambarkan dirinya terlebih dahulu, memberikan tanda tanda di bagian tubuh yang memiliki cerita. Entah itu bagian tubuh yanh terjatuh, tertusuk, terluka, menahan sakit, memiliki tanda lahir ataupun pernah mengalami pelecehan.
Barulah dari sana peserta diminta untuk menceritakan secara lengkap tentang apa yang terjadi dan dirasakan oleh korban.
Nah, memang butuh waktu untuk proses trauma healing ini jadi memang harus sabar apalagi jika korbannya adalah anak-anak.
Tanggapan :
Wah, terima kasih jawabannya Mbak Agin Puspa.
Jadi dilakukan secara bertahap ya Mbak, selain bisa memulai dari bagian tubuh, bisa juga kah mulai dari hal-hal atau benda-benda sekitar yang ditakuti atau yang mengingatkan mereka pada kejadian yang menyakitkan?
Nah, writing for healing untuk anak ini bisa dimulai dari usia berapa Mba?
Jadi ingat film freedom writer deh, yang sudah pernah nonton, apakah proses menulis diary yang diterapkan oleh guru kepada murid-muridnya juga termasuk dalam proses writing for healing?
Tanggapan Narasumber :
Saya belom pernah nonton Mbak tapi kok jadi penasaran yaaa.
Benar Mbak, proses menulis diary itu bagian dari Expressive writing dan lewat bukti diary anak-anak bahkan kita yang sudah dewasa pun bisa lebih lega mengekspresikan segala rasa yang dialami hari itu.
Pertanyaan 8:
1. Sudah adakah info atau riset tentang Expressive writing pada anak?
2. Jika ada, umur berapa baru bisa dimulai?
3. Adakah kekhususan tertentu yang berbeda dengan cara orang dewasa?
4. Adakah hal-hal yang perlu dihindari terkait dengan teknik ini untuk menyelesaikan emosi? Misal membaca ulang tulisan kita karena dapat menimbulkan sensasi kesedihan yang sama (seperti memandang kembali foto almarhum orang terdekat kita).
Jawaban :
Kalau sejauh yang saya baca saya baru sebatas ngulik di penelitiannya Pennebarker saja dan itu objeknya orang dewasa.
Nah, mungkin ada yang bisa sharing terkait hal ini?
Saya hanya sebatas tahu tentang yang Kak lian Gogali lakukan untuk korban kasus Poso. Boleh cek jawaban sebelumnya ya, Mbak.
Saya pernah dengar juga, katanya setelah Expressive writing tulisannya bisa kita bakar atau hancurkan agar tidak timbul kembali. Boleh aja saya rasa, namun yang jelas konsep berdamai dengan pengalaman luka harus lebih dulu dituntaskan.
Pertanyaan 9
Assalamualaikum... Teteh salam kenal supeeer sekali karya-karyanya Masya Allah...
Izin bertanya saya sejak kuliah suka banget "curhat" di buku dairy sampai 10 buku namun setelah menikah, "energi" curhatnya seolah hilang.
Bagaimana ya membangkitkannya kembali? Mohon sarannya
Jawaban :
Waalaikumsalam, Teteh...
Nah, kira-kira apa yang bikin teteh 'nggak berenergi' lagi untuk menulis diary saat ini? Malas kah? Nggak ada waktu kah? Coba dicek dulu penyebabnya untuk kembali memunculkan energi menggelora saat menulis diary
Pertanyaan 10:
Saya agak bingung dengan Expressive writing dengan menulis yang "bertujuan". Di materi dijelaskan tidak perlu menghiraukan susunan kalimat tapi dipenjelasan mbak Agin tadi tulisan kita perlu kita buang kalimat yang memang tidak nyambung.
Saya melihat ada 2 tujuan disini.
Ini beda pembahasan sebenarnya Mbak. Tadi kebetulan pertanyaannya berkaitan dengan meningkatkan skill menulis, ya. Kalau yang di jawaban tersebut bukan Expressive writing.
Maka dari itu saya menyarankan ke Mbak Annur untuk coba berlatihnya dengan metode Free Writing karena tujuannya untuk meningkatkan skill menulis bukan untuk mengekspresikan emosi.
Begitu mbak kira-kira, semoga bisa clear yaa
Tanggapan Peserta :
Benar mba
Kalau tulisan curhatan gak perlu nyambung, yang penting apapun yang ada di hati di tulis aja.
Dari saya SD dulu kalau nulis di hari itu ada apa aja yang bikin sebel dan seneng saya tulis semua walau kadang gak nyambung. Misal dari masalah di bully di sekolah sampai di suruh mewakili SD untuk maju lomba. Belum lagi masalah bertengkar sama adek di rumah. Sering saya nulis di hari itu gak nyambung tapi ploooong. Dan kalo baca diary itu saat ini pasti ketawa ketawa sendiri. Sambil bertanya ke diri sendiri "Kok bisa ya dulu begitu?"
Jawaban :
Sama saya juga, jadi geli sendiri baca curhatan masa sekolahan, wkwk. Tapi justru dengan gitu jadi lega yaa mbaaak...
Ada begitu banyak manfaat dari Expressive writing yang ternyata bisa dimulai dari menulis diary.
Expressive writing tidak akan maksimal saat kita masih belum bisa berdamai dengan diri sendiri.
Sebagai contohnya, salah satu tulisan saya ini lahir setelah saya berdamai dengan pertanyaan kapan nikah?
Sebelumnya, saya masih emosian aja kalo ada yang nanya kapan nikah. Alhamdulillah, saat ini walaupun belum menikah saya udah nggak terpengaruh lagi dengan pertanyaan tersebut.
0 Comments