"Seseorang dihargai, disegani, didengar apa yang dikatakannya, itu lantaran perjalanan hidupnya memang diwarnai keberanian, kegigihan, juga pahit dan getir." (hlm. 150)
Judul: Si Anak Savana
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Sabakgrip Nusantara
Tebal: 382 hlm
ISBN: 978-623-97262-2-5
Blurb
Apa yang mau lihat di savana? Rerumputan? Satu-dua pohon yang meranggas? Atau sapi dan kuda yang tengah merumput?
Apa yang kau rasakan ketika di savana? Panas? Udara kering yang membuat dahaga? Atau similir angin yang membuai?
Kalau kau tanya aku. Maka aku jawab begini: Aku melihat ketangguhan di savana. Pada rerumputan yang kering, berwarna cokelat, terinjak. Tapi besok-besok tetap ada, menghijau kembali saat diguyur hujan.
Kalau kau tanya aku, aku melihat dan merasakan itu. Adalah masa depanku.
Karena aku anak savana.
Novel Si Anak Savana merupakan buku kedelapan dari serial anak nusantara. Berkisah tentang Ahmad Wanga dan penduduk kampung Dopu. Cerita diawali dengan pencurian sapi milik Loka Nara, konon si pencuri sapi tersebut sangat lihai karena tak meninggalkan jejak sedikit pun. Berbulan-bulan lamanya warga kampung Dopu tidak berhasil menemukan si pencuri sapi tersebut. Ketika menjadi tuan rumah untuk acara pacuan kuda, pencurian itu kembali terjadi.
Ketua kampung yang pada awalnya selalu menggampangkan masalah, terkena musibah. Seluruh sapi miliknya lenyap tak bersisa. Sekali lagi, pencurinya betul-betul lihai, hilang tanpa jejak. Atau hanya penduduk kampung saja yang tak menyadari sesuatu...
Selain konflik tentang pencurian sapi, masih banyak kisah-kisah lain tentang warga kampung Dopu yang tak kalah menarik dalam buku ini. Seperti biasa, hal yang paling aku suka saat membaca buku Tere Liye adalah banyaknya nasihat atau petuah yang bisa kita temukan dalam buku ini.
“Panjang sekali pelajaran berkuda kita. Itulah nilainya. Kalian tidak harus diteriaki, diingatkan, dipanggil untuk melakukan kebaikan, maka kalian mendapatkan hadiah yang tidak bisa dibayangkan. Demikian pula kalau kuda yang kalian tunggangi tidak memerlukan gebah, pecut, dan teriakan, maka kuda itu akan terbang bersama kalian.” (halaman 124)
Hal-hal yang menarik dalam buku ini:
- Ada satu tokoh yang cukup membuatku terharu, yaitu tokoh bernama Sedo. Karakter Sedo meski hanya hidup berdua dengan adiknya, karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Tetapi ada satu hal yang patut kita tiru, yaitu senantiasa bekerja keras, bertanggung jawab serta tidak pernah mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya. “Kalian tahu kenapa Sedo seperti itu? Tidak pernah cerita kesusahannya, kekurangannya. Salah satunya karena mamaknya berpesan agar jangan menyusahkan orang lain. Itulah sebabnya kita tidak pernah tahu apakah dia dan adiknya punya makanan atau tidak.” (halaman 142)
- Cerita tentang Wanga yang melanggar peraturan tidak boleh berenang di telaga, membuatku belajar agar bertanggung jawab dan siap dengan segala konsekuensi yang harus kita tanggung. Aku juga salut dengan orang tua Wanga yang tegas menaati hukuman yang telah disepakati. Salah tetap katakan salah terhadap anaknya. “Lari dari sebuah kesalahan tidak lebih baik dari berbuat salah itu sendiri.” (halaman 238)
- Tentu saja bab 'Seberapa Besar Kasih Sayang Mamak' selalu sukses membuat mataku berkaca-kaca.
- Banyak sekali rumus di sekitar kita. Ada yang terkait dengan kehidupan kita, ada yang hanya untuk mengasah logika berpikir. (halaman 23)
- Berhentilah kau bilang semua persoalan sederhana, karena kau bukan sedang menyederhanakan persoalan, melainkan menggampangkan permasalahan. Beda sekali antara membuat sederhana dan menggampangkan. Jauh bedanya seperti bumi dan langit. (halaman 43)
- Dalam agama kita bergegas bukan saja boleh, malah dianjurkan. Kita tidak boleh menunda-nunda berbuat kebaikan, harus segera. Meski bergegas. (halaman 78)
- Kadang-kadang, tidak ada kabar itu malah kabar baik. (halaman 102)
- Seseorang dihargai, disegani, didengar apa yang dikatakannya, itu lantaran perjalanan hidupnya memang diwarnai keberanian, kegigihan, juga pahit dan getir." (halaman 150)
- Penghargaan yang didapat dengan uang itu menipu. Penghargaan seperti itu akan berakhir ketika uang sudah tidak ada, atau ada orang lain lagi yang punya banyak uang. (halaman 151)
- Tidak berguna mengaji dan sholatmu kalau kau melanggar peraturan karena merasa tidak akan ada yang melihat. Kau lupa apa yang mestinya kau dapat dengan mengaji dan sholat. Kau lupa bahwa Allah pasti melihatmu. (halaman 235)
- Kehilangan seekor sapi tentulah berat. Namun, kehilangan kesempatan memberikan teladan, menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah, membuat kehilangan seekor sapi jadi tidak ada apa-apanya. (halaman 237)
- Kita orangtua hanya bisa berusaha dengan sekuat-kuatnya memberi teladan dengan sebaik-baik teladan. Itu saja kewajiban kita. Masalah hasil dari usaha dan teladan itu, kita tidak punya kemampuan untuk menentukannya. (halaman 242)